TNI DAN KERANCUAN POLITIK NEGARA
Presiden Joko Widodo
menegaskan kepada prajurit Tentara Nasional Indonesi TNI agar mendukung
kebijakan Politik Negara dan tidak melakukan politik praktis .
Rupa
nya ada kegusaran presiden terhadap TNI ,bukan nya didalam UUD amandemen sudah
ada pasal yang mendudukan presiden menjadi penguasa tertinggi di TNI .
UUD
AMANDEMEN
Pasal
10: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara.
Bukan
nya dengan kekuasaan tersebut Presiden mempunyai kekuasaan penuh .presiden juga
menegaskan : "Politik TNI adalah politik negara. TNI berpijak pada
kebijakan negara. Semua yang dilakukan negara adalah untuk rakyat," kata
Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI
2016, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Menurut
Kepala Negara, rantai komando ditubuh TNI hanya satu. Tegak lurus, loyalitas
dan ketaatan pada Presiden sebagai Panglima tertinggi TNI.
Sejak
amandemen UUD 1945 memang tidak ada kejelasan terhadap Presiden sebagai Kepala
Negara Indonesia adalah negara hukum fungsi Presiden sebagai Kepala Negara
tidak ada satu pasal pun didalam batang tubuh amandemen tentu ini menjadi tanda
tanya besar ,apakah ini sebuah keteledoran para pengamandemen ? tentu ini
akan berbuntut panjang jika ada yang mempersoalkan ,sebab fungsi Presiden dalam
penguasaan TNI adalah sebagai Kepala Negara maka politik yang dijalankan adalah
politik negara , lagi-lagi kita bertanya-tanya apakah politik negara itu ?
keterukuran nya bagaimana , apakah TNI bisa membedakan mana politik negara dan
mana yang bukan ?
Amandemen UUD 1945 tanpa disadari juga
memporak porandakan Politik Negara , Politik Negara didalam UUD 1945 naskah asli
sangat jelas dan terukur dan dituangkan oleh MPR didalam GBHN , dan Presiden
pun harus menjalankan politik negara yang tertuang di GBHN , maka jika Presiden
menyimpang dari GBHN bisa diturunkan .
Oleh
karena Presiden adalah Mandataris MPR maka didalam menjalankan Pemerintahan nya
Presiden tidak boleh menjalankan politik nya sendiri maupun politik kelompok
nya , GBHN adalah Politik negara yang sangat terinci dan terukur ,sehingga TNI
akan berpedoman terhadap GBHN dalam menjalankan tugas nya ,jelas tugas nya
menjalankan dan mengamankan politik Negara , sebab GBHN adalah sebuah keputusan
Negara yang disusun oleh seluruh elemen bangsa .
Menjadi sebuah pertanyaan besar sekarang ini
apakah poltik negara itu ? apakah realisasi janji-janji Presiden adalah politik
Negara ? apakah keputusan pembangunan dengan model B to B yang dilakukan BUMN
Indonesia dengan BUMN Negara asing dalam membangun Infrastukur adalah poltik
negara ? apakah pertarungan politik di DPR dengan saling menelanjangi soal
Freeport adalah politik negara ? apakah tertawa nya Presiden dengan pelawak di
Istana adalah politik negara ? Apakah keputusan Menteri ESDM dengan memberi
ijin Freeport untuk eksport konsentrat walau itu melanggar UU Minerba adalah
keputusan negara ? dan apakah pungutan dana ketahanan energi didalam penjualan
per liter BBM adalah politik Negara ?
Dimana
sebenarnya Politik negara itu ?
Jika
kita buka UU TNI didalan Undang –Undang Nomor. 34 tahun 2004 tentang TNI pasal
7 ayat (1), Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Kalau
kita mendalami UUD TNI didalam pasal 7 ayat 1 ini maka timbul sebuah pertanyaan
besar bagi kita yang mendalami UUD 1945 , pertanyaan yang sangat kritis adalah
apakah UUD Amandemen masih bisa dikatakan UUD 1945 , mengapa ? sebab secara
sistematika sudah berbeda dengan UUD 1945 naskah asli terdiri dari Pembukaan ,
Batang tubuh , Penjelasan , sedang UUD Amandemen telah menghilang kan sistem matika nya , juga UUD amandemen telah
berubah 300% dan UUD 1945 naskah asli .
Perubahan
pasal 1 ayat 2 adalah perubahan terhadap aliran pemikiran Pancasila
Apakah
aliran pemikiran itu ? Sejak perjuangan
para pendiri bangsa telah menyatukan sebuah tekat yang menjadi alat bersama
yaitu anti terhadap Penjajahan, bahkan didalam pembukaan UUD 1945 ditulis
dengan jelas Bahwah Penjajahan Tidak sesuai dengan Perikemanusiaan dan peri
keadilan maka penjajahan dimuka bumi harus dihapuskan .
Penjahjahan ada karena adanya Imperalisme dan Kolonialisme yang bersumber
dari Kapitalisme Liberalisme semua ini lahir dari Individualisme , rupanya kita
semua tidak memahami apa arti penjajahan itu , maka para pendiri bangsa ini
merancang negeri nya dengan aliran pemikiran anti penjajahan yaitu Kolektivisme . Kebersamaan . Gotongroyong dan
Pancasila sebagai antitesis dari bentuk penjajahan .
Diamandemen
nya Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sesunguh nya merubah aliran pemikiran dari
kolektivisme , Kebersamaan , Kekeluargaan , Musyawarah Mufakat ,Pancasila
dengan sistem MPR , dirubah menjadi Individualisme , Liberalisme , Kapitalisme
, Kalah menang , Banyak nyakan suara , kuat-kuatan dengan sistem Presidenseil .
Marilah
kita kutib tesis Prof Noto Negoro didalam Sidang Senat Guru Besar Universitas
Gajah Mada dalam sponsor pemberian gelar Doctor Honorriscausa pada Presiden
Soekarno
...” Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
...” Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
Adapun tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang
nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan
kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya
objektif adalah sebagai di bawah ini.
Pertama-tama terkandung
djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara
sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang
dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara.
Lain daripada
itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan
Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang
Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab
XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal
14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas
Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan
perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam
pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja........”
NKRI dengan UUD
1945 naskah asli menganut sistem MPR adalah Sistem sendiri bukan sistem Presidenseil . Banyak yang tidak mengetahui mengapa pendiri
bangsa ini memilih sistem sendiri bukan sistem Parlementer maupun sistem Presideseil
seperti sekarang marilah kita buka
dokumen BPUPKI ,PPKI untuk bisa mengerti mengapa para pendiri bangsa ini
memilih sistem sendiri dalam menentukan
sistem bernegara .
......” Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
......” Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis
permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup
kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik
dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai
ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan
sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah
bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly.
Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif
tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas
Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari
sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena
dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga
lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang
merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap,
mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki
referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam
UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan
sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut
dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara
yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin
terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan
merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan
negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah
bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah
mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan
Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling
menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem
semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan
sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan
kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPKI
dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena
tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan
negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding
fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh
penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan
sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian
berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial
kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI
menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan
sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem
pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas,
mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr.
Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945
disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas
Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang
Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada
ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan
di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan
yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
Maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang
Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden.
Maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai
politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan,
diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan
Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan
Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „
Demikianlah pokok-pokok fikiran
para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang
mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya
„political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih
tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun
konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem
semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem
semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada
masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri
sebagai Kepala Pemerintahan.
Para perancang konstitusi
seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi
tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus
diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah
yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan,
satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan
memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan
hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika
amandemen UUD 1945 dilakukan. .....” (Prof. Dr. Sofian Effendi mantan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor
Indonesia)
Sejak amandemen UUD 1945 dan di gradasi
nya MPR menjadi lembaga tinggi setara dengan lembaga tinggi negara dihilangkan
nya GBHN , maka politik negara GBHN yang menjadi rujukan semua penyelenggara negara
menjadi hilang ,GBHN merupakan kompas
penunjuk arah didalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara telah
hilang Apakah kita bisa menjawab atas
pertanyaan: Presiden Joko Widodo menegaskan kepada prajurit Tentara Nasional
Indonesia (TNI) agar mendukung kebijakan politik negara dan tidak melakukan
politik praktis.
Memang
benar Politik TNI adalah politik negara pertanyaan nya menjadi tidak sederhana
apakah politik negara yang dimaksud oleh UUD amandemen itu ? siapa yang membuat
politik negara ? Presiden ? DPR ? atau MPR ?
Kalau
Politik neagara adalah Politik Presiden ada dimana klausul itu pada UUD
amandemen ? selanjut nya menjadi pertanyaan besar apakah politik negara yang
menysun Presiden ?atau siapa ?
Sungguh
dampak amandemen UUD akibat dirubah nya aliran pemikiran dan tidak singkron nya
dengan Pembukaan UUD 1945 menjadi sebuah persepsi yang akan kacau balau didalam
ketatanegaraan republik ini. Apakah kita akan berada pada ketidak pastian ?
mari kita semua lebih mendalami apa yang terjadi sesungguh nya pada bangsa dan
negara yang kita cintai ini ,apakah kita akan berada pada ketidak pastian
kekacauan atau kita kembali pada Pancasila dan UUD 1945 naskah asli butuh
sebuah keberanian bersama .
Mas Prie
Presiden Jokowi bersama Panglima TNI (Foto setkab.go.id)
Komentar