Kehidupan Dunia Ini Hanya Sementara
Hidup di
dunia ini hanya sementara. Membangun kesadaran akan hal tersebut, dapat
membentuk sikap eling akan tugas dan tanggung jawab sebagai manusia hidup di
muka bumi. Orang tua kita dulu, terlebih bagi yang hidup dalam kultur
masyarakat jawa tentu tidak asing dengan filosofi “Urip mung mampir ngombe” (hidup ibarat hanya singgah
untuk minum). Sebuah renungan filosofis betapa singkatnya kita menapaki hidup di dunia ini untuk kemudian kembali
menuju kehidupan baru yang lebih kekal dan abadi. Untuk menuju ke sana menggapai
kehidupan yang lebih bahagia, tentu diperlukan bekal berupa amal kebajikan,
amal soleh sesuai tuntunan agama dan perintah Sang Khalik, pemilik kehidupan yang
sesungguhnya.
Sebuah
syair pitutur dari Kanjeng Sunan Kalijogo ini bisa menjadi sebuah renungan,
cermin hidup agar kita senantiasa memiliki sikap eling, ingat darimana kita
berasal, untuk apa kita hidup dan kepada siapa kita akan kembali.
Ketahuilah sejatinya hidup,
Hidup di dalam alam dunia,
Ibarat perumpamaan mampir minum,
Seumpama burung terbang,
Pergi dari sangkarnya,
Dimana hinggapnya besok,
Jangan sampai keliru,
Umpama orang pergi bertandang,
Pulang ke asal mulanya...
Namun
kadang manusia sering terjebak dengan cara pandang yang sempit tentang hidup
itu sendiri. Keinginan untuk berumur panjang dan menghindari kematian adalah
manusiawi dan merupakan suatu hal yang
lumrah, namun hendaknya harus disikapi dengan kacamata iman. Di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, banyak ilmuwan dan pakar kesehatan berlomba-lomba mencari formula
bagaimana agar manusia bisa hidup lebih lama. Kita tidak menampik kemungkinan hal
tersebut bisa saja terjadi, namun semua itu berpulang pada kesadaran dalam konteks iman, bahwa hidup mati seseorang
adalah wilayah dan hak prerogatif Allah.
Karena itu,
dengan memahami ayat, "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang
manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati, apakah mereka akan
kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan," (al-Anbiyaa` [21]: 34-35). Melalui ayat
tersebut, Allah mengatakan kepada kita
bahwa setiap manusia diciptakan tidak abadi (akan mati). Sebuah kenyataan yang
setiap kita pasti akan hadapi pada waktu yang telah ditentukan.
Kenyataan bahwa manusia akan mati adalah
sebuah kebenaran mutlak. Dalam hal apa pun, kehidupan dunia ini sangatlah
singkat dan sementara sifatnya. Setiap orang diturunkan ke dunia ini untuk
diuji dalam rentang waktu perjalanan hidupnya. Adalah sebuah kesalahan besar bagi seseorang untuk
mendasarkan rencana hidupnya hanya untuk dunia, untuk menerima persinggahan
yang sebentar ini sebagai kehidupan sejatinya, serta melupakan akhirat di mana
ia akan hidup selamanya.
Di tengah
pergumulan kehidupan yang penuh persaingan seperti sekarang ini, begitu kentara
terlihat di sekitar kita, banyak yang abai terhadap rambu-rambu yang sudah
ditetapkan Allah, hanya demi eksistensi duniawi, manusia menjadi lupa diri.
Menggapai
kebahagiaan duniawi, termasuk di dalamnya menyemat simbol-simbol kesuksesan
bukan sesuatu yang diharamkan, bahkan dianjurkan, namun hendaknya harus
dibarengi dengan pertanggung jawaban atas apa yang diraihnya dan memperkokoh
konstruksi iman bahwa apa yang disemat pada dirinya adalah amanah. Suatu ketika
akan diminta kembali dan dipertanggung jawabkan. Sebagaimana ditunjukkan dalam
ayat, "Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun," (al-Mulk [67]: 2).
Allah
memperindah dunia ini untuk menciptakan kondisi di mana di dalamnya manusia
akan diuji. Manusia seharusnya tidak tertipu oleh kenyataan bahwa sebagian
orang berlomba-lomba satu sama lain untuk memaksimalkan kesenangan hidup di
dunia ini. Hal ini karena--seperti yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an--mereka yang
hidup dalam kelalaian, tidak dapat menganggap sebuah kelompok kecuali bila
mereka memiliki sifat-sifat yang dikehendakinya. Mereka yang berusaha untuk
mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan, mengorbankan kepercayaan mereka untuk mendapatkan kekuasaan.
Mereka yang
memainkan peran sebagai orang yang ingin mendapatkan penghargaan atau
penerimaan dari orang lain, sebenarnya tengah mengembara dalam dimensi yang
semu. Menganggap bahwa kehidupan dunia
ini adalah nyata lalu mengejar keuntungan serta balasan duniawi saja tanpa
harapan, sama artinya dengan menyandera
dirinya sendiri dalam kerugian dan kehinaan di kehidupan abadinya nanti.
Kehidupan dunia ini diciptakan Allah SWT
sebagai berkah bagi manusia. Sementara mereka di dunia, manusia harus
memakainya sebaik mungkin atas segala pesonanya dan menikmati anugerahnya yang
berlimpah. Akan tetapi, kita tidak boleh mengidealkan dan tidak juga mengejar
anugerah ini dengan keinginan atau ambisi yang berlebihan, tetapi menjadikannya sebagai alat untuk hidup sesuai
dengan norma, aturan agama dalam sikap sebaik mungkin, untuk menghargai Allah,
dan bersyukur setelah menyadari bahwa semua itu dilimpahkan Allah kepadanya.
Berbuat
sesuai dengan alasan-alasan seperti, "Saya dapat membawa hidup saya dalam
keridhaan Allah dan menggunakan keuntungan-keuntungan duniawi ini
sebaik-baiknya," akan menjadi pola pikir yang merusak keikhlasan
seseorang.
Di dalam
ayat berikut, mengacu pada para nabi-Nya, Allah mengingatkan umat manusia bahwa
tingkah laku mereka yang hanya mengingat hari akhir saja adalah yang terbaik
dalam kebaikan bersama Allah.
"Dan
ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami
telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan
yang paling baik." (Shaad [38]: 45-47)
Meskipun
demikian, Allah melimpahkan anugerah duniawi yang luar biasa atas mereka yang
dengan ikhlas berpaling kepada-Nya dan menginginkan hari akhirat. Jadi,
seseorang yang mengambil jarak dengan keikhlasan dengan mengatakan, "Biarkan
aku memiliki dunia ini dan akhirat," pada akhirnya akan kehilangan
kedua-duanya. Orang yang selalu hanya mencari akhirat akan mendapatkan
keberkahan dunia dan akhirat.
Seseorang
yang memiliki kemurnian spiritual,
tidak menjadikan kesenangan dunia yang sementara ini menjadi tujuan
akhir.
Demikian pula, Badiuzzaman Said Nursi berkata, "Rahasianya adalah
keikhlasan. Kesenangan dunia yang sementara ini menjadi tujuan akhir bagi
mereka yang tidak berhasil mendapatkan kemurnian spiritual. Jadi, perbuatan
yang dilakukan oleh mereka untuk hari akhirat dipengaruhi oleh
kesenangan-kesenangan tersebut, dan keikhlasan mereka ternodai. Karena hal-hal
yang bersifat duniawiah, kesenangan tidak dapat dicari bersama dengan perbuatan
untuk mendapatkan balasan duniawi lainnya. Jika demikian, keikhlasan akan
terancam." Ia menggarisbawahi
bahwa tujuan untuk mendapatkan dua keuntungan dunia dan akhirat muncul dari
jiwa yang kurang terdidik. Pemikiran demikian mengurangi keikhlasan dan
mencegah seseorang dari melakukan amal saleh untuk hari akhirat.
Dalam
karyanya yang lain, Said Nursi mencatat bahwa hanya mereka "yang
menganggap bahwa dunia adalah rumah persinggahan" yang dapat berharap
untuk mendapatkan kehidupan terbaik dan paling berbahagia. Karena itu, pola
pikir demikian membawa seseorang pada keridhaan Allah dan untuk berbuat ikhlas.
Dengan
berpikir demikian, ia dapat meningkat cepat pada tingkatan keridhaan Allah,
tingkatan tertinggi. Karena, orang tidak akan memberikan harga intan untuk
sesuatu yang senilai dengan kaca yang bisa pecah. Ia akan menjalani hidupnya
dengan lurus dan penuh kebahagiaan. Benar, materi yang ada di dunia ini adalah
seperti serpihan kaca yang hancur, sedangkan materi yang abadi di akhirat
memiliki nilai intan yang sempurna.
Keingintahuan
yang besar, rasa cinta yang hebat, keserakahan yang parah, keinginan yang
keras, dan emosi-emosi lainnya yang kuat dalam naluri manusia diberikan untuk
mendapatkan hal-hal yang ada di akhirat. Menjadikan emosi-emosi yang kuat
terhadap hal-hal duniawi yang bersifat sementara ini sebagai tujuan, berarti
memberikan harga intan yang abadi untuk serpihan kaca yang hancur.
Dalam istilah ini, Badiuzzaman membandingkan
kehidupan dunia ini sebagai sebuah botol yang mudah pecah, sedangkan hari
akhirat sebagai intan. Siapa pun yang berbuat tidak ikhlas, dengan larut dalam
kehidupan dunia ini, akan kehilangan balasan yang amat menyenangkan, seperti
orang yang mengorbankan intan untuk sebuah botol kaca yang tak bernilai. Di
sisi lain, orang yang memahami bahwa dunia ini adalah rumah persinggahan, ia
tidak akan melakukan kesalahan yang sama dan akan mendesak dirinya untuk
berusaha sekuatnya di dunia ini untuk akhirat.
Memanjakan diri dan hanyut dalam
kenikmatan hawa nafsu adalah sebab keruntuhan dan awal dari penderitaan, tetapi
mengendalikan diri dan puas dengan hal-hal yang sederhana adalah awal dari
kebahagiaan dan kedamaian.
Komentar