“Nak, bawalah selalu sarung ini. Ini sarung peninggalan kakekmu. Dengan sarung ini pula, carilah dirimu sendiri juga masa depanmu. Ibu tidak bisa memberi bekal apapun, selain nasehat “wong kang teteg, tekun mesti bakal tekan,” demikian pesan Ibu saya tiga puluh tahun silam, ketika saya hendak berangkat merantau ke Jakarta. Pesan ibu, yang belakangan baru saya ketahui makna dan maksudnya tiba-tiba hadir menari-nari dalam benak ingatan saya. Selembar sarung tua. Pada awalnya saya protes kepada ibu saya, kenapa ibu tega hanya membekali sarung, bukan uang yang cukup untuk bekal saya sementara waktu di perantauan, apalagi kota sebesar Jakarta, yang menurut pendapat orang hidup di Jakarta seperti hidup di hutan rimba, kita akan mudah diterkam kalau tidak memiliki bekal yang cukup. Saya masih terlalu polos saat itu, tidak mampu memaknai pesan-pesan filosofis yang terkandung dibaliknya. Seiring waktu perjalanan hidup saya pun bergulir, saya harus berjuang keras untuk memartabatkan hi
Komentar